Rabu, 08 Mei 2013

Mengupas Kulit: Pemikiran Immanuel Kant

Immanuel Kant (lahir di Königsberg, 22 April 1724 – meninggal di Königsberg, 12 Februari 1804 pada umur 79 tahun) adalah seorang filsuf Jerman. Immanuel Kant seorang filsuf termasyur yang memiliki tiga pokok pemikiran yang harus diketahui terlebih dahulu, dikarenakan pemikirannya begitu original dan terlihat berbeda dari pemikiran para filsuf sebelumnya terutama berangkat dari filsuf Inggris bernama David Hume, berikut ini pokok pemikirannya: 
  1. Panca indera, akal budi, rasio. Kita sudah tahu tentang arti empirisme yang mementingkan pengalaman inderawi dalam memperoleh pengetahuan dan rasionalisme yang mengedepankan penggunaan rasio dalam memperoleh pengetahuan, tetapi rasio yang kita ketahui adalah sama dengan akal dan logis, namun Kant memberi definisi berbeda. Pada Kant istilah rasio memiliki arti yang baru, bukan lagi sebagai langsung kepada pemikiran, tetapi sebagai sesuatu yang ada “di belakang” akal budi dan pengalaman inderawi. Dari sini dapat dipilah bahwa ada tiga unsur: akal budi (Verstand), rasio (Vernunft), dan pengalaman inderawi.
  2. Dalam filsafatnya Kant mencoba untuk mensinergikan antara rasionalisme dan empirisme. Ia bertujuan untuk membuktikan bahwa sumber pengetahuan itu diperoleh tidak hanya dari satu unsur saja melainkan dari dua unsur yaitu pengalaman inderawi dan akal budi. Pengetahuan a-priori merupakan jenis pengetahuan yang datang lebih dulu sebelum dialami, seperti misalnya pengetahuan akan bahaya, sedangkan a-posteriori sebaliknya yaitu dialami dulu baru mengerti misalnya dalam menyelesaikan Rubix Cube. Kalau salah satunya saja yang dipakai misalnya hanya empirisme saja atau rasionalisme saja maka pengetahuan yang diperoleh tidaklah sempurna bahkan bisa berlawanan. Filsafat Kant menyebutkan bahwa pengetahuan merupakan gabungan (sintesis) antara keduanya. 
  3. Dari sini timbullah bahwa Kant adalah seorang Kopernikan dalam bidang filsafat. Sebelum Kant, filsafat hampir selalu memandang bahwa orang (subyek) yang mengamati obyek, tertuju pada obyek, penelitian obyek dan sebagainya. Kant memberikan arah yang sama sekali baru, merupakan kebalikan dari filsafat sebelumnya yaitu bahwa obyeklah yang harus mengarahkan diri kepada subyek. Kant dapat dikatakan sebagai seorang revolusioner karena dalam ranah pengetahuan ia tidak memulai pengetahuan dari obyek yang ada tetapi dari yang lebih dekat terlebih dahulu yaitu si pengamat obyek (subyek). 
Disadur dari :
Berbagai sumber.

Selasa, 30 April 2013

“Politik Pencitraan Tidak Hanya Ada di Elite Politik”


Citra = Image = Standar Politik
Beberapa muslim sering memanjatkan doa

الَلَّهُمَّ أَرِنَاالْحَقَّ حَقًّا, وَارْزُقْناَ اتِّبَاعَهُ ,وَأَرِناَ الْباَطِلَ باَطِلاً، وَارْزُقْنَا اجْتِنَابَه

“Yaa Allah, tampakkanlah kepada kami yang benar adalah benar dan karuniailah kami komitmen untuk mengikuti kebenaran itu. Tampakkanlah pula yang salah adalah salah adanya dan karuniailah kami komitmen untuk meninggalkan kesalahan itu”
Menjadi harapan setiap muslim dari doa tersebut adalah tumbuhnya kesadaran diri bahwa dalam setiap kesempatan menemui kebenaran maka Allah SWT intervensi langsung kepada kita dengan memberi isyarat/tanda bahwa kebenaran yang kita temukan adalah juga “benar” di hadapan Allah. Kemudian serta merta Allah memberi kekuatan, keberanian, kemampuan dan kesanggupan mengikuti kebenaran tersebut. Demikian pula sebaliknya ketika kita menemukan kesalahan, Allah SWT langsung menegaskan melalui cara-Nya, bahwa kesalahan yang kita temukan tersebut benar-benar “salah” di hadapan-Nya dan Allah SWT ridhlo memberi kekuatan, keberanian, kemampuan dan kesanggupan meninggalkan kesalahan tersebut.
Masalahnya sekarang adalah, sudahkah kita berusaha sungguh-sungguh (mujahadah) untuk menghadapi kebenaran yang kita jumpai itu dengan mengharap kepada Allah untuk tidak membiarkan setan turut campur dengan menyamarkan kebenaran tersebut melalui sikap kebimbangan kita dalam mengikuti kebenaran itu?
Bukankah banyak di antara kita menjadi permisif ketika ketemu kesalahan kemudian menutupi/menyamarkan kesalahan tersebut agar tidak jelas tampak salah? Berharap pula agar tidak terpublikasi atau menimbulkan gejolak? Bagi penulis cara membacanya ketika seseorang mengalami kondisi demikian, sebenarnya telah terjadi Politik Pencitraan dalam diri pribadi orang tersebut. Tetapi sangat mungkin yang bersangkutan akan menerjemahkan sebagai penyesuaian “Ruang dan Waktu”.  Kenapa demikian? Penulis mempunyai anggapan bahwa dengan respons tersebut Citra/image yang muncul terhadap pribadi orang tersebut akan terjaga dalam Citra/image baik/benar. Bukankah yang demikian sudah dapat dipastikan sebagai perlawanan terhadap sunnatullah? Atau bukankah yang bersangkutan telah membebani dadanya dengan afirmasi yang salah tampak benar? Kondisi yang demikian akan secara terus menerus memberatkannya. Atau kita hanya bermain waktu dengan mengulur/menarik sehingga proses “ketara” dalam peribahasa Jawa “becik ketitik ala ketara” sebagai penyesuaian, sejarah yang akan membuktikannya?
Semoga pribadi kita benar-benar mendapat bimbingan Allah SWT untuk menjadi hamba yang senantiasa takut kepada-Nya dan selalu ikut mau-Nya. Amin
Wallahu a’lam bishowwab.

Senin, 29 April 2013

SITUASI EKSTRIM

Refleksi Kuliah Filsafat Ilmu; Rabu, 24 April 2013

Tenang - diam - .... - Tenteram
Gelisah - Gaduh - ..... - Galau


Sering kali situasi hidup mengikuti pola pikir dikotomi, terbagi dalam dua kondisi yang berhadapan secara diametral tanpa gradasi atau pemeringkatan situasi untuk setiap hal yang dihadapi. Hitam vs Putih, Baik vs Buruk, Sedih vs Gembira, Kaya vs Miskin atau dalam ajaran Tao ada Yin Yang  dan lain sebagainya. Pada gilirannya dalam merangkum sejarah perkembangan kehidupan manusia pun secara ekstrem pola tersebut dijadikan model supaya mudah dalam memetakan. Tidak dapat dipungkiri Filsafat yang sudah setua umur kehidupan manusia itu sendiri, mengkonfigurasi perkembangan Filsafat ke dalam dikotomi tersebut. Kadang beberapa pihak mengatakan, ada yang terlupakan bahwa ada situasi atau kondisi abu-abu atau kebiru-biruan, agak baik atau cenderung jelek, sejahtera atau tersubsidi justru yang sering dijumpai.
Gambar Simbol Yin Yang

Penulis bisa memahami penegasan adanya mazhab Platonik vs Aristoteles sebagai symbol penerjemahan Idealis vs Realis  sampai dengan fase “Power Now” dengan fondasi Hegemoni mazhab Pragmatisme-Hedonisme-Kapitalisme, dalam mata kuliah Filsafat Ilmu, merupakan penerapan pola dikotomi di tataran Filsafat. Lantas siapakah yang berperan memberi paradigma ini?
Mencoba untuk mengetengahkan keberadaan yang lain, adalah memandang adanya interval kontinu dari paradigma dikotomi, barangkali sebagai upaya rasa syukur terhadap apa yang telah diterima sebagai kebaikan. Ada konfigurasi situasi/kondisi di antara dua kondisi ekstrim. Artinya setiap orang tidak harus mengkategorikan/mengkotak-kotak setiap keadaan hanya dalam dua kutub ekstrim (dikotomi). Namun lebih memberi makna agar dapat dihadapkan pada pemenuhan kebutuhan pokok dalam menjalani kehidupan yang wajar. Boleh jadi standar kewajaran dalam hidup seseorang masih bisa diperdebatkan, namun norma yang berlaku di masyarakat sebenarnya sudah cukup jelas untuk menghentikan perbedaan pendapat yang muncul. Akhirnya semua kembali kepada bagaimana kita mensikapi.
Pergolakan dalam Filsafat pun mencoba menggoda untuk memberi penjelasan melalui terjemahan-terjemahan terhadap pokok situasi/kondisi yang ekstrem, sehingga melahirkan banyak mazhab-mazhab dalam pengembangan model pendekatan pembangunan di sebuah negara. Hal ini dapat di lihat pada penekanan pembangunan yang dijalankan maupun bentuk usaha ketahanan nasional sebuah negara. Manifestasi dari kebijakan ini merambah sampai ke masyarakat bawah dengan berbagai instrumen yang ada mencoba saling berbisik, sehingga hampir dapat dipastikan dalam setiap lapisan masyarakat mengerucut menjadi tujuan “terpenuhinya kebutuhan papan, sandang, pangan, pendidikan, kesehatan sehingga dapat menjalani kehidupan tanpa rasa minder atau membanggakan diri yang dapat diukur oleh setiap individu”. Kalau dicermati dalam situasi ini ada kesesuaian “Ruang dan Waktu” dalam setiap entitas. Benang merah yang dapat ditarik dari gejala situasi ekstrem adalah sikap “cukup” yang cenderung menjadi pengadil di antara sengketa dikotomi “kekurangan vs berlimpah”. Lantas spirit apa yang mampu menumbuhkan rasa “cukup” itu hadir dalam pribadi setiap individu?
Menurut penulis, rujukannya jelas yaitu menyerahkan keberadaan kondisi yang tidak jelas kepada pemilik penjelasan seraya berdoa:
.... wajburni...... Yaa Allah..... Cukupilah aku Yana Allah....., jika ada pada diriku kekurangan tambahkanlah Yaa Allah..... dan jika Engkau dapati pada diriku dalam keadaan berlebihan, kurangilah Yaa Allah....
Selalu menjadi panjatan dalam setiap kesadaran dalam duduk “iftirash” antara dua sujud di setiap sholat kita.... Amin

Yogyakarta, 29 April 2013


Muh. Nur Choiron

Sabtu, 27 April 2013

PUASA YANG BERDAYA


(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Qur'an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur. (QS 2:185)
Dengan puasa yang berdaya orang kaya bisa memperlakukan diri sebagai si miskin, penguasa bisa menjadi rakyat jelata, dan manusia bisa bertindak bagai malaikat yang bebas kepentingan duniawi dan kebutuhan seksualitas.
Dari sini seseorang memperoleh pencerahan batin sehingga ada pada maqom Fithrah, yang oleh banyak kalangan disebut God spot. Inilah maksud Idul Fitri, yaitu kembalinya manusia pada kesucian diri seperti anak manusia yang baru dilahirkan, yang diperoleh setelah sebulan menjalani ritual puasa.
Puasa merupakan ajaran kemanusiaan otentik dengan tujuan agar manusia bisa bertindak lebih manusiawi bagaikan malaikat, bahkan perilakunya seolah menjadi cermin aura ketuhanan. Inilah yang dalam tradisi sufi disebut hulul ketika sifat-sifat kemanusiaan yang cenderung culas tereliminasi sehingga yang tersisa hanya sifat-sifat ketuhanan. Keadaan demikian dipahami sebagai saat Tuhan meminjam tubuh-tubuh manusia bagi kehadiran-Nya di alam kehidupan Duniawi.
Aura ketuhanan (God Spot) atau keadaan Fithrah bisa mengubah perilaku seseorang sehingga bersedia mengorbankan kepentingan diri guna membela kaum tertindas, rakyat miskin yang tertindas dan diperlakukan tidak adil atau kaum mustadhl’afin. Puasa perlu dipahami sebagai media transendensi saat seseorang bisa mengkritik dan menertawai diri sendiri, golongan dan partainya, serta melakukan radikalisasi tradisi sehingga bebas dari pola kelakuan culas dan maksiat.
Sayang, selama ini ibadah puasa lebih banyak dipahami sebagai grand bonus pahala saat setan-setan dibelenggu, pintu neraka ditutup, dan pintu surga dibuka lebar. Pemahaman demikian tentu tidak salah, namun perlu dipertanyakan ketika puasa lebih mendorong seseorang beramal sekadar menghapus dosa yang pernah dilakukan tanpa mengubah perilaku culas dan maksiat yang selama ini biasa dilakukan. Semangat sholat tarawih di malam hari, mendaras Al Qur’an, memberi makanan dan pakaian kepada anak yatim, memberi takjil, dan menghadiri majlis-majlis pengajian, cenderung ditujukan untuk memutihkan dosa (pemutihan dosa) maksiat, tetapi tak membuat seseorang berhenti berbuat maksiat dan culas untuk menjadi lebih saleh sesudah Ramadhan usai.
Oleh karena itu, ritual puasa tahun ini perlu diartikan sebagai puasa yang berdaya untuk bisa memperoleh God Spot. Penanda pencapaian God Spot (maqom Fithrah) ialah saat seseorang mengubah perilakunya secara radikal sehingga melakukan keluarbiasaan atau abnormalitas lebih dari sekadar manusia umumnya. Keberhasilan menjalankan ritual puasa perlu diukur dari perubahan perilaku menjadi lebih saleh dan manusiawi.
Setiap orang bisa mencapai God Spot dengan cara berbeda di sepanjang perjalanan hidupnya; tiba-tiba bisa melakukan tindakan yang hampir mustahil dalam keadaan normal. God Spot adalah suatu pencerahan batin dan spiritual seperti kegembiraan, kebahagiaan, kecerdasan luar biasa, atau bisa mengangkat beban yang selama ini tak mungkin dilakukan. Inilah mungkin pengalaman rohani Umar ibnu Khattab yang berubah dari memusuhi nabi Muhammad menjadi pembela yang berani, seorang bandit menjadi santun saat orang yang selama ini disakiti dan dibuat menderita menjadi penyelamatnya ketika ia hampir kehilangan nyawa tanpa harapan, atau dua orang musuh bebuyutan yang menjadi teman karib sinorowedi saat keduanya harus saling menolong dalam situasi kritis tanpa harapan memperoleh bantuan orang lain.
Situasi god spot bisa muncul pascapenderitaan luar biasa atau sakit parah yang hampir tak dapat disembuhkan. Di puncak penderitaan, kesulitan, dan sakit parah itu seseorang “tiba-tiba” memperoleh jalan kesembuhan, terbebas dari derita dan putus asa.
Oleh karena itu, ritual puasa bukan sekadar tidak makan minum, tidak melakukan hubungan seksual dengan suami atau istri di siang hari, tidak berkata kotor, dan shalat tarawih di malam hari. Ritual puasa adalah ajaran tentang bagaimana seseorang berlatih tidak melakukan sesuatu yang justru halal dan membuatnya senang. Tanpa perubahan perilaku sesudah Ramadhan usai, ritual puasa tak lebih dari sebuah kelaparan dan kedahagaan di siang hari. Kegagalan ritual puasa ialah ketika usai shalat Idul Fitri, kebejatan moral, maksiat, korupsi, ketidakadilan sang penguasa dan pemimpin politik dan keagamaan kepada rakyat dan umatnya yang menderita, miskin, tertindas dan diperlakukan tidak adil tetap berlangsung.
Kemaksiatan bukan sekadar buka warung makan di siang hari, berzina, dansa-dansa, minum-minuman keras atau mengonsumsi narkoba. Kemaksiatan hebat justru merupakan tindakan penguasa yang tidak peduli pada nasib mustadhl’afin, merampok harta rakyat dan negara dengan korupsi, menyalahgunakan kekuasaan bagi kepentingan diri, golongan dan partai, menafsir kaidah hukum dan memanipulasi prosedur birokrasi bagi keuntungan pribadi. Teror Bom dan bom bunuh diri yang membuat orang lain yang dipandang sesat dan kafir merupakan maksiat ganda karena merusak tatanan sosial, politik, dan ekonomi yang bisa memakan korban orang yang tidak berdosa.
Komitmen pada ajaran puasa tak cukup dengan menutup warung makan dan restoran di siang hari, menutup kafe di malam hari, menghentikan segala bentuk perjudian atau prostitusi, dan menghancurkan segala jenis minuman keras. Penutupan warung makan dan restoran di siang hari bisa bertentangan dengan ajaran puasa bagi kaum musafir. Selain itu, penutupan berbagai kegiatan ekonomi bisa membuat banyak orang yang mayoritas memeluk agama Islam kehilangan sumber ekonomi, anak-anak mereka kehilangan harapan.
Lebih strategis jika ritual puasa dijadikan momentum aktivis keagamaan menyusun sistem sosial dan ekonomi, yang memungkinkan berfungsinya etika kesalehan dalam kehidupan sosial dan ekonomi. Dalam kebingungan dunia global dan mengembangkan kehidupan yang lebih berkeadilan dan manusiawi, kajian tentang sistem kesalehan sosial dan ekonomi itu diharapkan bisa memberi rekomendasi tata kehidupan dunia yang lebih saleh, yang bisa dipahami bangsa-bangsa di dunia dalam beragam agama dan ideologi. Kegiatan seperti ini lebih bermakna daripada jihad dan aksi mati syahid yang lebih mengesankan keputusasaan.
Aksi mati syahid yang dilakukan sepihak dengan pertimbangan meluasnya ketidak adilan dunia global yang diderita negeri-negeri Muslim, akibat dominasi negara-negara sekuler yang dituduh kafir, bisa berarti merupakan pelecehan ketuhanan karena merusak hukum natural (Sunnatullah). Tindakan demikian bisa merusak sistem ilmu pengetahuan, tatanan sosial, ekonomi, politik dan kebudayaan global. Pada saat yang sama berbagai komunitas Muslim menderita dan aktivis gerakan keagamaan mudah dituduh sebagai teroris. Sama halnya dengan aksi militer yang dialkukan negara-negara barat, terutama yang dipimpin Amerika Serikat, atas nama demokrasi dan usaha penghancuran basis-basis terorisme merupakan pelecehan kemanusiaan dan ketuhanan itu sendiri.
Tuhan sendiri dengan tegas menyatakan tak berkehendak menjadikan semua manusia menjadi beriman dan saleh. Tujuannya agar manusia belajar dari sejarah dan pengalaman duniawi. Tuhan memberi izin kepada setan untuk mengganggu orang-orang beriman dan saleh di sepanjang sejarah duniawi. Tuhan tidak mematikan setan yang konon beranak pinak hingga masa depan dunia dipenuhi setan. Di sisi lain, ajaran tentang kiamat sendiri dipahami sebagai peristiwa masa depan yang menunjukkan kehancuran moral, kemaharajalelaan maksiat, dan kejayaan dajjal atau setan. Kita mungkin salah dalam memahami wahyu tentang keberanakpinakan setan dan keselibatan malaikat yang hidup abadi seperti kesalahan memahami makna fungsional teologi kiamat itu.
Tafsir bahwa tuhan tak melipatgandakan sanksi dosa dan bonus lipat ganda pada tiap tindakan saleh mungkin perlu dikaji ulang. Rekonstruksi tafsir tentang pahala amal shaleh dan dosa maksiat penting dilakukan saat orang-orang yang tampak rajin bersedekah, berpuasa penuh selama Ramadhan, pergi haji setiap tahun, atau umrah setiap saat, dan setiap hari jam’ah shalat di masjid, ternyata tidak berhenti melakukan korupsi dan menyalahgunakan kekuasaan.
Jihad di jalan Allah dan kesalehan yang dipihaki dan dibela Tuhan mungkin perlu diberi arti lebih fungsional dan profetik tentang kemampuan mewujudkan keadilan, kemakmuran, dan pembelaan kepada kaum tertindas, orang-orang miskin, dan diperlakukan tidak adil atau kaum mustadl’afin. Tidak peduli apakah mereka memeluk agama Islam atau agama lain, bahkan yang dituduh kafir sekalipun.
Jihad dan kesalehan adalah aksi kemanusiaan otentik pasca puasa berdaya yang dengan itu seseorang memperoleh god spot. Inilah akar teologis yang membuat Umar Ibnu Khattab mau melecehkan kemaharajaannya sebagai khalifah, mamanggul sendiri sekantong gandum bagi rakyatnya yang kelaparan. Bersediakah kita puasa berdaya bagi kepentingan rakyat dan umat manusia sebagai bukti kesalehan otentik dan jihad di sabilillah?
Wallahu a’lam bishowab.

Dikompilasi dari berbagai Sumber
Muh. Nur Choiron
Jogja. Senin, 08 September 2009