Sabtu, 27 April 2013

PUASA YANG BERDAYA


(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Qur'an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur. (QS 2:185)
Dengan puasa yang berdaya orang kaya bisa memperlakukan diri sebagai si miskin, penguasa bisa menjadi rakyat jelata, dan manusia bisa bertindak bagai malaikat yang bebas kepentingan duniawi dan kebutuhan seksualitas.
Dari sini seseorang memperoleh pencerahan batin sehingga ada pada maqom Fithrah, yang oleh banyak kalangan disebut God spot. Inilah maksud Idul Fitri, yaitu kembalinya manusia pada kesucian diri seperti anak manusia yang baru dilahirkan, yang diperoleh setelah sebulan menjalani ritual puasa.
Puasa merupakan ajaran kemanusiaan otentik dengan tujuan agar manusia bisa bertindak lebih manusiawi bagaikan malaikat, bahkan perilakunya seolah menjadi cermin aura ketuhanan. Inilah yang dalam tradisi sufi disebut hulul ketika sifat-sifat kemanusiaan yang cenderung culas tereliminasi sehingga yang tersisa hanya sifat-sifat ketuhanan. Keadaan demikian dipahami sebagai saat Tuhan meminjam tubuh-tubuh manusia bagi kehadiran-Nya di alam kehidupan Duniawi.
Aura ketuhanan (God Spot) atau keadaan Fithrah bisa mengubah perilaku seseorang sehingga bersedia mengorbankan kepentingan diri guna membela kaum tertindas, rakyat miskin yang tertindas dan diperlakukan tidak adil atau kaum mustadhl’afin. Puasa perlu dipahami sebagai media transendensi saat seseorang bisa mengkritik dan menertawai diri sendiri, golongan dan partainya, serta melakukan radikalisasi tradisi sehingga bebas dari pola kelakuan culas dan maksiat.
Sayang, selama ini ibadah puasa lebih banyak dipahami sebagai grand bonus pahala saat setan-setan dibelenggu, pintu neraka ditutup, dan pintu surga dibuka lebar. Pemahaman demikian tentu tidak salah, namun perlu dipertanyakan ketika puasa lebih mendorong seseorang beramal sekadar menghapus dosa yang pernah dilakukan tanpa mengubah perilaku culas dan maksiat yang selama ini biasa dilakukan. Semangat sholat tarawih di malam hari, mendaras Al Qur’an, memberi makanan dan pakaian kepada anak yatim, memberi takjil, dan menghadiri majlis-majlis pengajian, cenderung ditujukan untuk memutihkan dosa (pemutihan dosa) maksiat, tetapi tak membuat seseorang berhenti berbuat maksiat dan culas untuk menjadi lebih saleh sesudah Ramadhan usai.
Oleh karena itu, ritual puasa tahun ini perlu diartikan sebagai puasa yang berdaya untuk bisa memperoleh God Spot. Penanda pencapaian God Spot (maqom Fithrah) ialah saat seseorang mengubah perilakunya secara radikal sehingga melakukan keluarbiasaan atau abnormalitas lebih dari sekadar manusia umumnya. Keberhasilan menjalankan ritual puasa perlu diukur dari perubahan perilaku menjadi lebih saleh dan manusiawi.
Setiap orang bisa mencapai God Spot dengan cara berbeda di sepanjang perjalanan hidupnya; tiba-tiba bisa melakukan tindakan yang hampir mustahil dalam keadaan normal. God Spot adalah suatu pencerahan batin dan spiritual seperti kegembiraan, kebahagiaan, kecerdasan luar biasa, atau bisa mengangkat beban yang selama ini tak mungkin dilakukan. Inilah mungkin pengalaman rohani Umar ibnu Khattab yang berubah dari memusuhi nabi Muhammad menjadi pembela yang berani, seorang bandit menjadi santun saat orang yang selama ini disakiti dan dibuat menderita menjadi penyelamatnya ketika ia hampir kehilangan nyawa tanpa harapan, atau dua orang musuh bebuyutan yang menjadi teman karib sinorowedi saat keduanya harus saling menolong dalam situasi kritis tanpa harapan memperoleh bantuan orang lain.
Situasi god spot bisa muncul pascapenderitaan luar biasa atau sakit parah yang hampir tak dapat disembuhkan. Di puncak penderitaan, kesulitan, dan sakit parah itu seseorang “tiba-tiba” memperoleh jalan kesembuhan, terbebas dari derita dan putus asa.
Oleh karena itu, ritual puasa bukan sekadar tidak makan minum, tidak melakukan hubungan seksual dengan suami atau istri di siang hari, tidak berkata kotor, dan shalat tarawih di malam hari. Ritual puasa adalah ajaran tentang bagaimana seseorang berlatih tidak melakukan sesuatu yang justru halal dan membuatnya senang. Tanpa perubahan perilaku sesudah Ramadhan usai, ritual puasa tak lebih dari sebuah kelaparan dan kedahagaan di siang hari. Kegagalan ritual puasa ialah ketika usai shalat Idul Fitri, kebejatan moral, maksiat, korupsi, ketidakadilan sang penguasa dan pemimpin politik dan keagamaan kepada rakyat dan umatnya yang menderita, miskin, tertindas dan diperlakukan tidak adil tetap berlangsung.
Kemaksiatan bukan sekadar buka warung makan di siang hari, berzina, dansa-dansa, minum-minuman keras atau mengonsumsi narkoba. Kemaksiatan hebat justru merupakan tindakan penguasa yang tidak peduli pada nasib mustadhl’afin, merampok harta rakyat dan negara dengan korupsi, menyalahgunakan kekuasaan bagi kepentingan diri, golongan dan partai, menafsir kaidah hukum dan memanipulasi prosedur birokrasi bagi keuntungan pribadi. Teror Bom dan bom bunuh diri yang membuat orang lain yang dipandang sesat dan kafir merupakan maksiat ganda karena merusak tatanan sosial, politik, dan ekonomi yang bisa memakan korban orang yang tidak berdosa.
Komitmen pada ajaran puasa tak cukup dengan menutup warung makan dan restoran di siang hari, menutup kafe di malam hari, menghentikan segala bentuk perjudian atau prostitusi, dan menghancurkan segala jenis minuman keras. Penutupan warung makan dan restoran di siang hari bisa bertentangan dengan ajaran puasa bagi kaum musafir. Selain itu, penutupan berbagai kegiatan ekonomi bisa membuat banyak orang yang mayoritas memeluk agama Islam kehilangan sumber ekonomi, anak-anak mereka kehilangan harapan.
Lebih strategis jika ritual puasa dijadikan momentum aktivis keagamaan menyusun sistem sosial dan ekonomi, yang memungkinkan berfungsinya etika kesalehan dalam kehidupan sosial dan ekonomi. Dalam kebingungan dunia global dan mengembangkan kehidupan yang lebih berkeadilan dan manusiawi, kajian tentang sistem kesalehan sosial dan ekonomi itu diharapkan bisa memberi rekomendasi tata kehidupan dunia yang lebih saleh, yang bisa dipahami bangsa-bangsa di dunia dalam beragam agama dan ideologi. Kegiatan seperti ini lebih bermakna daripada jihad dan aksi mati syahid yang lebih mengesankan keputusasaan.
Aksi mati syahid yang dilakukan sepihak dengan pertimbangan meluasnya ketidak adilan dunia global yang diderita negeri-negeri Muslim, akibat dominasi negara-negara sekuler yang dituduh kafir, bisa berarti merupakan pelecehan ketuhanan karena merusak hukum natural (Sunnatullah). Tindakan demikian bisa merusak sistem ilmu pengetahuan, tatanan sosial, ekonomi, politik dan kebudayaan global. Pada saat yang sama berbagai komunitas Muslim menderita dan aktivis gerakan keagamaan mudah dituduh sebagai teroris. Sama halnya dengan aksi militer yang dialkukan negara-negara barat, terutama yang dipimpin Amerika Serikat, atas nama demokrasi dan usaha penghancuran basis-basis terorisme merupakan pelecehan kemanusiaan dan ketuhanan itu sendiri.
Tuhan sendiri dengan tegas menyatakan tak berkehendak menjadikan semua manusia menjadi beriman dan saleh. Tujuannya agar manusia belajar dari sejarah dan pengalaman duniawi. Tuhan memberi izin kepada setan untuk mengganggu orang-orang beriman dan saleh di sepanjang sejarah duniawi. Tuhan tidak mematikan setan yang konon beranak pinak hingga masa depan dunia dipenuhi setan. Di sisi lain, ajaran tentang kiamat sendiri dipahami sebagai peristiwa masa depan yang menunjukkan kehancuran moral, kemaharajalelaan maksiat, dan kejayaan dajjal atau setan. Kita mungkin salah dalam memahami wahyu tentang keberanakpinakan setan dan keselibatan malaikat yang hidup abadi seperti kesalahan memahami makna fungsional teologi kiamat itu.
Tafsir bahwa tuhan tak melipatgandakan sanksi dosa dan bonus lipat ganda pada tiap tindakan saleh mungkin perlu dikaji ulang. Rekonstruksi tafsir tentang pahala amal shaleh dan dosa maksiat penting dilakukan saat orang-orang yang tampak rajin bersedekah, berpuasa penuh selama Ramadhan, pergi haji setiap tahun, atau umrah setiap saat, dan setiap hari jam’ah shalat di masjid, ternyata tidak berhenti melakukan korupsi dan menyalahgunakan kekuasaan.
Jihad di jalan Allah dan kesalehan yang dipihaki dan dibela Tuhan mungkin perlu diberi arti lebih fungsional dan profetik tentang kemampuan mewujudkan keadilan, kemakmuran, dan pembelaan kepada kaum tertindas, orang-orang miskin, dan diperlakukan tidak adil atau kaum mustadl’afin. Tidak peduli apakah mereka memeluk agama Islam atau agama lain, bahkan yang dituduh kafir sekalipun.
Jihad dan kesalehan adalah aksi kemanusiaan otentik pasca puasa berdaya yang dengan itu seseorang memperoleh god spot. Inilah akar teologis yang membuat Umar Ibnu Khattab mau melecehkan kemaharajaannya sebagai khalifah, mamanggul sendiri sekantong gandum bagi rakyatnya yang kelaparan. Bersediakah kita puasa berdaya bagi kepentingan rakyat dan umat manusia sebagai bukti kesalehan otentik dan jihad di sabilillah?
Wallahu a’lam bishowab.

Dikompilasi dari berbagai Sumber
Muh. Nur Choiron
Jogja. Senin, 08 September 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar