Jejak seorang guru Matematika dalam menempuh perjalanan untuk tujuan mulia, bersiap menerima kerelaan Sang Pencipta untuk menjadi seorang Hamba-Nya. Sedang berusaha dengan segala karunia yang ada, menterjemaahkan "Kalam" ke dalam "Alam" sedemikian rupa sehingga ditemukan terjemaahan "Alam" (science) yang selaras dengan "Kalam" (to be inspiration).
Senin, 10 Juni 2013
Rabu, 08 Mei 2013
Mengupas Kulit: Pemikiran Immanuel Kant
Immanuel Kant (lahir di Königsberg, 22 April 1724 – meninggal di Königsberg, 12 Februari 1804 pada umur 79 tahun) adalah seorang filsuf Jerman. Immanuel Kant seorang filsuf termasyur yang memiliki tiga pokok pemikiran yang harus diketahui terlebih dahulu, dikarenakan pemikirannya begitu original dan terlihat berbeda dari pemikiran para filsuf sebelumnya terutama berangkat dari filsuf Inggris bernama David Hume, berikut ini pokok pemikirannya:
- Panca indera, akal budi, rasio. Kita sudah tahu tentang arti empirisme yang mementingkan pengalaman inderawi dalam memperoleh pengetahuan dan rasionalisme yang mengedepankan penggunaan rasio dalam memperoleh pengetahuan, tetapi rasio yang kita ketahui adalah sama dengan akal dan logis, namun Kant memberi definisi berbeda. Pada Kant istilah rasio memiliki arti yang baru, bukan lagi sebagai langsung kepada pemikiran, tetapi sebagai sesuatu yang ada “di belakang” akal budi dan pengalaman inderawi. Dari sini dapat dipilah bahwa ada tiga unsur: akal budi (Verstand), rasio (Vernunft), dan pengalaman inderawi.
- Dalam filsafatnya Kant mencoba untuk mensinergikan antara rasionalisme dan empirisme. Ia bertujuan untuk membuktikan bahwa sumber pengetahuan itu diperoleh tidak hanya dari satu unsur saja melainkan dari dua unsur yaitu pengalaman inderawi dan akal budi. Pengetahuan a-priori merupakan jenis pengetahuan yang datang lebih dulu sebelum dialami, seperti misalnya pengetahuan akan bahaya, sedangkan a-posteriori sebaliknya yaitu dialami dulu baru mengerti misalnya dalam menyelesaikan Rubix Cube. Kalau salah satunya saja yang dipakai misalnya hanya empirisme saja atau rasionalisme saja maka pengetahuan yang diperoleh tidaklah sempurna bahkan bisa berlawanan. Filsafat Kant menyebutkan bahwa pengetahuan merupakan gabungan (sintesis) antara keduanya.
- Dari sini timbullah bahwa Kant adalah seorang Kopernikan dalam bidang filsafat. Sebelum Kant, filsafat hampir selalu memandang bahwa orang (subyek) yang mengamati obyek, tertuju pada obyek, penelitian obyek dan sebagainya. Kant memberikan arah yang sama sekali baru, merupakan kebalikan dari filsafat sebelumnya yaitu bahwa obyeklah yang harus mengarahkan diri kepada subyek. Kant dapat dikatakan sebagai seorang revolusioner karena dalam ranah pengetahuan ia tidak memulai pengetahuan dari obyek yang ada tetapi dari yang lebih dekat terlebih dahulu yaitu si pengamat obyek (subyek).
Berbagai sumber.
Rabu, 01 Mei 2013
Selasa, 30 April 2013
“Politik Pencitraan Tidak Hanya Ada di Elite Politik”
Citra = Image = Standar Politik
Beberapa
muslim sering memanjatkan doa
الَلَّهُمَّ
أَرِنَاالْحَقَّ حَقًّا, وَارْزُقْناَ اتِّبَاعَهُ ,وَأَرِناَ الْباَطِلَ باَطِلاً،
وَارْزُقْنَا اجْتِنَابَه
“Yaa
Allah, tampakkanlah kepada kami yang benar adalah benar dan karuniailah kami
komitmen untuk mengikuti kebenaran itu. Tampakkanlah pula yang salah adalah
salah adanya dan karuniailah kami komitmen untuk meninggalkan kesalahan itu”
Menjadi
harapan setiap muslim dari doa tersebut adalah tumbuhnya kesadaran diri bahwa
dalam setiap kesempatan menemui kebenaran maka Allah SWT intervensi langsung
kepada kita dengan memberi isyarat/tanda bahwa kebenaran yang kita temukan
adalah juga “benar” di hadapan Allah. Kemudian serta merta Allah memberi
kekuatan, keberanian, kemampuan dan kesanggupan mengikuti kebenaran tersebut.
Demikian pula sebaliknya ketika kita menemukan kesalahan, Allah SWT langsung
menegaskan melalui cara-Nya, bahwa kesalahan yang kita temukan tersebut benar-benar
“salah” di hadapan-Nya dan Allah SWT ridhlo memberi kekuatan, keberanian,
kemampuan dan kesanggupan meninggalkan kesalahan tersebut.
Masalahnya
sekarang adalah, sudahkah kita berusaha sungguh-sungguh (mujahadah) untuk menghadapi
kebenaran yang kita jumpai itu dengan mengharap kepada Allah untuk tidak
membiarkan setan turut campur dengan menyamarkan kebenaran tersebut melalui
sikap kebimbangan kita dalam mengikuti kebenaran itu?
Bukankah
banyak di antara kita menjadi permisif ketika ketemu kesalahan kemudian
menutupi/menyamarkan kesalahan tersebut agar tidak jelas tampak salah? Berharap
pula agar tidak terpublikasi atau menimbulkan gejolak? Bagi penulis cara membacanya
ketika seseorang mengalami kondisi demikian, sebenarnya telah terjadi Politik
Pencitraan dalam diri pribadi orang tersebut. Tetapi sangat mungkin yang
bersangkutan akan menerjemahkan sebagai penyesuaian “Ruang dan Waktu”. Kenapa demikian? Penulis mempunyai anggapan
bahwa dengan respons tersebut Citra/image yang muncul terhadap pribadi orang
tersebut akan terjaga dalam Citra/image baik/benar. Bukankah yang demikian sudah dapat
dipastikan sebagai perlawanan terhadap sunnatullah? Atau bukankah yang
bersangkutan telah membebani dadanya dengan afirmasi yang salah tampak benar?
Kondisi yang demikian akan secara terus menerus
memberatkannya. Atau kita hanya bermain waktu dengan mengulur/menarik
sehingga proses “ketara” dalam peribahasa Jawa “becik ketitik ala ketara” sebagai penyesuaian, sejarah yang akan membuktikannya?
Semoga
pribadi kita benar-benar mendapat bimbingan Allah SWT untuk menjadi hamba yang
senantiasa takut kepada-Nya dan selalu ikut mau-Nya. Amin
Wallahu
a’lam bishowwab.
Senin, 29 April 2013
SITUASI EKSTRIM
Refleksi Kuliah Filsafat Ilmu; Rabu, 24 April 2013
Tenang - diam - .... - Tenteram
Gelisah - Gaduh - ..... - Galau
Penulis bisa memahami penegasan adanya mazhab Platonik vs Aristoteles sebagai symbol penerjemahan Idealis vs Realis sampai dengan fase “Power Now” dengan fondasi Hegemoni mazhab Pragmatisme-Hedonisme-Kapitalisme, dalam mata kuliah Filsafat Ilmu, merupakan penerapan pola dikotomi di tataran Filsafat. Lantas siapakah yang berperan memberi paradigma ini?
Tenang - diam - .... - Tenteram
Gelisah - Gaduh - ..... - Galau
Sering kali situasi hidup mengikuti pola pikir
dikotomi, terbagi dalam dua kondisi yang berhadapan secara diametral tanpa
gradasi atau pemeringkatan situasi untuk setiap hal yang dihadapi. Hitam vs
Putih, Baik vs Buruk, Sedih vs Gembira, Kaya vs Miskin atau dalam ajaran Tao
ada Yin Yang dan lain sebagainya.
Pada gilirannya dalam merangkum sejarah perkembangan kehidupan manusia pun
secara ekstrem pola tersebut dijadikan model supaya mudah dalam
memetakan. Tidak dapat dipungkiri Filsafat yang sudah setua umur kehidupan
manusia itu sendiri, mengkonfigurasi perkembangan Filsafat ke dalam dikotomi
tersebut. Kadang beberapa pihak mengatakan, ada yang terlupakan bahwa ada situasi
atau kondisi abu-abu atau kebiru-biruan, agak baik atau cenderung jelek,
sejahtera atau tersubsidi justru yang sering dijumpai.
Gambar Simbol Yin Yang
Penulis bisa memahami penegasan adanya mazhab Platonik vs Aristoteles sebagai symbol penerjemahan Idealis vs Realis sampai dengan fase “Power Now” dengan fondasi Hegemoni mazhab Pragmatisme-Hedonisme-Kapitalisme, dalam mata kuliah Filsafat Ilmu, merupakan penerapan pola dikotomi di tataran Filsafat. Lantas siapakah yang berperan memberi paradigma ini?
Mencoba untuk mengetengahkan keberadaan yang
lain, adalah memandang adanya interval kontinu dari paradigma dikotomi,
barangkali sebagai upaya rasa syukur terhadap apa yang telah diterima sebagai
kebaikan. Ada konfigurasi situasi/kondisi di antara dua kondisi ekstrim. Artinya setiap orang tidak harus
mengkategorikan/mengkotak-kotak setiap keadaan hanya dalam dua kutub ekstrim (dikotomi). Namun lebih memberi
makna agar dapat dihadapkan pada pemenuhan kebutuhan pokok dalam menjalani
kehidupan yang wajar. Boleh jadi standar kewajaran dalam hidup seseorang
masih bisa diperdebatkan, namun norma yang berlaku di masyarakat sebenarnya
sudah cukup jelas untuk menghentikan perbedaan pendapat yang muncul. Akhirnya
semua kembali kepada bagaimana kita mensikapi.
Pergolakan dalam Filsafat pun mencoba menggoda
untuk memberi penjelasan melalui terjemahan-terjemahan terhadap pokok
situasi/kondisi yang ekstrem, sehingga melahirkan banyak mazhab-mazhab dalam
pengembangan model pendekatan pembangunan di sebuah negara. Hal ini dapat di
lihat pada penekanan pembangunan yang dijalankan maupun bentuk usaha ketahanan
nasional sebuah negara. Manifestasi dari kebijakan ini merambah sampai ke
masyarakat bawah dengan berbagai instrumen yang ada mencoba saling berbisik,
sehingga hampir dapat dipastikan dalam setiap lapisan masyarakat mengerucut menjadi
tujuan “terpenuhinya kebutuhan papan, sandang, pangan, pendidikan, kesehatan
sehingga dapat menjalani kehidupan tanpa rasa minder atau membanggakan diri
yang dapat diukur oleh setiap individu”. Kalau dicermati dalam situasi ini ada
kesesuaian “Ruang dan Waktu” dalam setiap entitas. Benang merah yang dapat
ditarik dari gejala situasi ekstrem adalah sikap “cukup” yang cenderung menjadi
pengadil di antara sengketa dikotomi “kekurangan vs berlimpah”. Lantas spirit
apa yang mampu menumbuhkan rasa “cukup” itu hadir dalam pribadi setiap
individu?
Menurut penulis, rujukannya jelas yaitu
menyerahkan keberadaan kondisi yang tidak jelas kepada pemilik penjelasan
seraya berdoa:
.... wajburni...... Yaa Allah.....
Cukupilah aku Yana Allah....., jika ada pada diriku kekurangan tambahkanlah
Yaa Allah..... dan jika Engkau dapati pada diriku dalam keadaan berlebihan,
kurangilah Yaa Allah....
Selalu menjadi panjatan dalam setiap kesadaran
dalam duduk “iftirash” antara dua sujud di setiap sholat kita.... Amin
Yogyakarta, 29 April 2013
Muh. Nur Choiron
Sabtu, 27 April 2013
PUASA YANG BERDAYA
(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Qur'an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur. (QS 2:185)
Dengan puasa yang berdaya orang kaya bisa memperlakukan diri sebagai si miskin, penguasa bisa menjadi rakyat jelata, dan manusia bisa bertindak bagai malaikat yang bebas kepentingan duniawi dan kebutuhan seksualitas.
Dari sini seseorang memperoleh pencerahan batin sehingga ada pada maqom Fithrah, yang oleh banyak kalangan disebut God spot. Inilah maksud Idul Fitri, yaitu kembalinya manusia pada kesucian diri seperti anak manusia yang baru dilahirkan, yang diperoleh setelah sebulan menjalani ritual puasa.
Puasa merupakan ajaran kemanusiaan otentik dengan tujuan agar manusia bisa bertindak lebih manusiawi bagaikan malaikat, bahkan perilakunya seolah menjadi cermin aura ketuhanan. Inilah yang dalam tradisi sufi disebut hulul ketika sifat-sifat kemanusiaan yang cenderung culas tereliminasi sehingga yang tersisa hanya sifat-sifat ketuhanan. Keadaan demikian dipahami sebagai saat Tuhan meminjam tubuh-tubuh manusia bagi kehadiran-Nya di alam kehidupan Duniawi.
Aura ketuhanan (God Spot) atau keadaan Fithrah bisa mengubah perilaku seseorang sehingga bersedia mengorbankan kepentingan diri guna membela kaum tertindas, rakyat miskin yang tertindas dan diperlakukan tidak adil atau kaum mustadhl’afin. Puasa perlu dipahami sebagai media transendensi saat seseorang bisa mengkritik dan menertawai diri sendiri, golongan dan partainya, serta melakukan radikalisasi tradisi sehingga bebas dari pola kelakuan culas dan maksiat.
Sayang, selama ini ibadah puasa lebih banyak dipahami sebagai grand bonus pahala saat setan-setan dibelenggu, pintu neraka ditutup, dan pintu surga dibuka lebar. Pemahaman demikian tentu tidak salah, namun perlu dipertanyakan ketika puasa lebih mendorong seseorang beramal sekadar menghapus dosa yang pernah dilakukan tanpa mengubah perilaku culas dan maksiat yang selama ini biasa dilakukan. Semangat sholat tarawih di malam hari, mendaras Al Qur’an, memberi makanan dan pakaian kepada anak yatim, memberi takjil, dan menghadiri majlis-majlis pengajian, cenderung ditujukan untuk memutihkan dosa (pemutihan dosa) maksiat, tetapi tak membuat seseorang berhenti berbuat maksiat dan culas untuk menjadi lebih saleh sesudah Ramadhan usai.
Oleh karena itu, ritual puasa tahun ini perlu diartikan sebagai puasa yang berdaya untuk bisa memperoleh God Spot. Penanda pencapaian God Spot (maqom Fithrah) ialah saat seseorang mengubah perilakunya secara radikal sehingga melakukan keluarbiasaan atau abnormalitas lebih dari sekadar manusia umumnya. Keberhasilan menjalankan ritual puasa perlu diukur dari perubahan perilaku menjadi lebih saleh dan manusiawi.
Setiap orang bisa mencapai God Spot dengan cara berbeda di sepanjang perjalanan hidupnya; tiba-tiba bisa melakukan tindakan yang hampir mustahil dalam keadaan normal. God Spot adalah suatu pencerahan batin dan spiritual seperti kegembiraan, kebahagiaan, kecerdasan luar biasa, atau bisa mengangkat beban yang selama ini tak mungkin dilakukan. Inilah mungkin pengalaman rohani Umar ibnu Khattab yang berubah dari memusuhi nabi Muhammad menjadi pembela yang berani, seorang bandit menjadi santun saat orang yang selama ini disakiti dan dibuat menderita menjadi penyelamatnya ketika ia hampir kehilangan nyawa tanpa harapan, atau dua orang musuh bebuyutan yang menjadi teman karib sinorowedi saat keduanya harus saling menolong dalam situasi kritis tanpa harapan memperoleh bantuan orang lain.
Situasi god spot bisa muncul pascapenderitaan luar biasa atau sakit parah yang hampir tak dapat disembuhkan. Di puncak penderitaan, kesulitan, dan sakit parah itu seseorang “tiba-tiba” memperoleh jalan kesembuhan, terbebas dari derita dan putus asa.
Oleh karena itu, ritual puasa bukan sekadar tidak makan minum, tidak melakukan hubungan seksual dengan suami atau istri di siang hari, tidak berkata kotor, dan shalat tarawih di malam hari. Ritual puasa adalah ajaran tentang bagaimana seseorang berlatih tidak melakukan sesuatu yang justru halal dan membuatnya senang. Tanpa perubahan perilaku sesudah Ramadhan usai, ritual puasa tak lebih dari sebuah kelaparan dan kedahagaan di siang hari. Kegagalan ritual puasa ialah ketika usai shalat Idul Fitri, kebejatan moral, maksiat, korupsi, ketidakadilan sang penguasa dan pemimpin politik dan keagamaan kepada rakyat dan umatnya yang menderita, miskin, tertindas dan diperlakukan tidak adil tetap berlangsung.
Kemaksiatan bukan sekadar buka warung makan di siang hari, berzina, dansa-dansa, minum-minuman keras atau mengonsumsi narkoba. Kemaksiatan hebat justru merupakan tindakan penguasa yang tidak peduli pada nasib mustadhl’afin, merampok harta rakyat dan negara dengan korupsi, menyalahgunakan kekuasaan bagi kepentingan diri, golongan dan partai, menafsir kaidah hukum dan memanipulasi prosedur birokrasi bagi keuntungan pribadi. Teror Bom dan bom bunuh diri yang membuat orang lain yang dipandang sesat dan kafir merupakan maksiat ganda karena merusak tatanan sosial, politik, dan ekonomi yang bisa memakan korban orang yang tidak berdosa.
Komitmen pada ajaran puasa tak cukup dengan menutup warung makan dan restoran di siang hari, menutup kafe di malam hari, menghentikan segala bentuk perjudian atau prostitusi, dan menghancurkan segala jenis minuman keras. Penutupan warung makan dan restoran di siang hari bisa bertentangan dengan ajaran puasa bagi kaum musafir. Selain itu, penutupan berbagai kegiatan ekonomi bisa membuat banyak orang yang mayoritas memeluk agama Islam kehilangan sumber ekonomi, anak-anak mereka kehilangan harapan.
Lebih strategis jika ritual puasa dijadikan momentum aktivis keagamaan menyusun sistem sosial dan ekonomi, yang memungkinkan berfungsinya etika kesalehan dalam kehidupan sosial dan ekonomi. Dalam kebingungan dunia global dan mengembangkan kehidupan yang lebih berkeadilan dan manusiawi, kajian tentang sistem kesalehan sosial dan ekonomi itu diharapkan bisa memberi rekomendasi tata kehidupan dunia yang lebih saleh, yang bisa dipahami bangsa-bangsa di dunia dalam beragam agama dan ideologi. Kegiatan seperti ini lebih bermakna daripada jihad dan aksi mati syahid yang lebih mengesankan keputusasaan.
Aksi mati syahid yang dilakukan sepihak dengan pertimbangan meluasnya ketidak adilan dunia global yang diderita negeri-negeri Muslim, akibat dominasi negara-negara sekuler yang dituduh kafir, bisa berarti merupakan pelecehan ketuhanan karena merusak hukum natural (Sunnatullah). Tindakan demikian bisa merusak sistem ilmu pengetahuan, tatanan sosial, ekonomi, politik dan kebudayaan global. Pada saat yang sama berbagai komunitas Muslim menderita dan aktivis gerakan keagamaan mudah dituduh sebagai teroris. Sama halnya dengan aksi militer yang dialkukan negara-negara barat, terutama yang dipimpin Amerika Serikat, atas nama demokrasi dan usaha penghancuran basis-basis terorisme merupakan pelecehan kemanusiaan dan ketuhanan itu sendiri.
Tuhan sendiri dengan tegas menyatakan tak berkehendak menjadikan semua manusia menjadi beriman dan saleh. Tujuannya agar manusia belajar dari sejarah dan pengalaman duniawi. Tuhan memberi izin kepada setan untuk mengganggu orang-orang beriman dan saleh di sepanjang sejarah duniawi. Tuhan tidak mematikan setan yang konon beranak pinak hingga masa depan dunia dipenuhi setan. Di sisi lain, ajaran tentang kiamat sendiri dipahami sebagai peristiwa masa depan yang menunjukkan kehancuran moral, kemaharajalelaan maksiat, dan kejayaan dajjal atau setan. Kita mungkin salah dalam memahami wahyu tentang keberanakpinakan setan dan keselibatan malaikat yang hidup abadi seperti kesalahan memahami makna fungsional teologi kiamat itu.
Tafsir bahwa tuhan tak melipatgandakan sanksi dosa dan bonus lipat ganda pada tiap tindakan saleh mungkin perlu dikaji ulang. Rekonstruksi tafsir tentang pahala amal shaleh dan dosa maksiat penting dilakukan saat orang-orang yang tampak rajin bersedekah, berpuasa penuh selama Ramadhan, pergi haji setiap tahun, atau umrah setiap saat, dan setiap hari jam’ah shalat di masjid, ternyata tidak berhenti melakukan korupsi dan menyalahgunakan kekuasaan.
Jihad di jalan Allah dan kesalehan yang dipihaki dan dibela Tuhan mungkin perlu diberi arti lebih fungsional dan profetik tentang kemampuan mewujudkan keadilan, kemakmuran, dan pembelaan kepada kaum tertindas, orang-orang miskin, dan diperlakukan tidak adil atau kaum mustadl’afin. Tidak peduli apakah mereka memeluk agama Islam atau agama lain, bahkan yang dituduh kafir sekalipun.
Jihad dan kesalehan adalah aksi kemanusiaan otentik pasca puasa berdaya yang dengan itu seseorang memperoleh god spot. Inilah akar teologis yang membuat Umar Ibnu Khattab mau melecehkan kemaharajaannya sebagai khalifah, mamanggul sendiri sekantong gandum bagi rakyatnya yang kelaparan. Bersediakah kita puasa berdaya bagi kepentingan rakyat dan umat manusia sebagai bukti kesalehan otentik dan jihad di sabilillah?
Wallahu a’lam bishowab.
Dikompilasi dari berbagai Sumber
Muh. Nur Choiron
Jogja. Senin, 08 September 2009
Kamis, 14 Maret 2013
ISLAM SEKEDAR SIMBOL
Assalamualaikum teman sesama pencari,
Sebagai ajaran, Islam memuat aturan-aturan
yang bernilai simbolik, namun juga bernilai maknawi. Islam menekankan pada
nilai/makna/ hakikat dan mewujudkannya dalam bentuk simbol.
Pengakuan kepada Allah disimbolkan dengan
syahadat, ketaatan pada Allah diwujkan dalam bentuk sholat, zakat, puasa, haji,
dll.
Ketundukan dan ketaatan pada Allah tanpa
diwujudkan dalam simbol menjadi sesat juga. Bohong apabila ketundukan hanya
dalam tataran nilai. Rasulullah yang sudah diampuni dan dijamin masuk surga
bahkan malah meningkatkan kuantitas simbol ketaatan yaitu berupa sholat malam,
puasa, dll.
Masyarakat Indonesia unik, saat ini kita
melihat bagaimana masyarakat kita sangat memuja simbol. Apabila kita melihat
Quran dibakar, dibanting, diinjak, maka kita rela mati demi membalas perlakuan
tersebut. Kebalikannya sebagai nilai Quran diinjak, maka semua orang tenang,
prostitusi dianggap biasa, judi, maling dianggap biasa, kaum homoseksual yang
sangat dikutuk malah jadi idola.
Umat Islam Indonesia telah meninggalkan nilai,
dan suka terlarut dalam perdebatan simbol (fiqih). Banyak anggota masyarakat
tertipu oleh oknum berjubah, berjenggot, bersorban, bergelar kemuliaan, namun
sesungguhnya menyesatkan. Al-Quran menjadi jimat daripada diamalkan. Bacaan
Quran menjadi mantera pengusir setan. Ayat-ayat Allah dijadikan pemanis bibir
dalam menjual diri layaknya pelacur. Hari ini setan tertawa melihat kebodohan
kita. Demikian pula penjajah menyukai karakter ini, jangan lawan simbol-simbol
Islam, lawanlah nilainya dan sehalus mungkin.
Deposito perbankan telah menjadi bagian
hidup kita, menumpuk harta dan enggan berbagi telah menjadi penyakit kita.
Orang beragama mengejar keutamaan para wali, mengejar karomah, mengejar mukjizat.
Pedagang diajari ketamakan, setelah tamak disesatkannya dengan berbagai bentuk
kesirikan. Ilmu agama sebagai alat untuk mendekatkan diri pada Allah
dimodifikasi untuk memperkaya diri, mencari kemuliaan dimata manusia,
kepopuleran, mencaci dan memfitnah saudara sendiri. Poligamipun dibahas dari
segi simbol daripada nilai.
Marilah kita seimbangkan ajaran simbolik
Islam dengan ajaran nilai dalam Islam. Galilah Al-Quran dan temukan maknanya
dalam terjemahan. Seimbangkan membaca Quran simbol dan Quran makna.
Mencari guru bersahaja dan tidak bersimbol
lumayan sulit. Hanya kepada Allah kita memohon petunjuk, dan hanya kepada Allah
kita memohon bimbingannya. Insya Allah bisa menjadi perenungan.
Seorang pencari makna yang ikhlas dan
bersih dari pamrih makhluk akan disambar oleh Sang Rabb ke dalam naungannya.
Wassalam.
Jumat, 08 Maret 2013
MENUMBUHKAN SIKAP MURAQABATULLAH
Seorang
Ulama, Al-Harits al-Muhasibi berkata, "Muraqabah adalah pengetahuan hati
tentang kedekatan Rabb"
Menghadapi
perkembangan kehidupan berbangsa dan bernegara akhir-akhir ini, marilah kita
instropeksi ke dalam diri pribadi kita masing-masing, bahwa apa yang marak
dalam pemberitaan media ternyata sedikit banyak kita larut dalam permasalahan
yg sedang actual tsb. Paling tidak ikut melintas dalam benak pikiran, atau
tidak jarang menguras energy untuk membahas dan mendiskusikan isu-isu tersebut.
Tidak peduli apakah pada tataran pejabat atau rakyat jelata, kaum aghniya
ataupun dhuafa, cendekiawan atau orang awam, semua sibuk membicarakan. Yang
memprihatinkan, jika keterlarutan kita menyeret pada pertikaian atau
pertengkaran yang dapat merusak tali silaturahiem, hanya karena terjadi
perbedaan perspektif dalam mewawas setiap isu yang bergulir. Na’udzubillahi min
dzalika.
Oleh karena
itu, terkait dengan semakin mujarabnya tuntunan semu (media/tontonan) yang
direalisasikan oleh sebagian ummat sebagai panglima dalam melakukan aktivitas
social kemasyarakatan, tidak jarang membuat pergeseran budaya, tradisi,
perilaku anggota masyarakat dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Kenyataan
ini yang sering kita hadapi dan tidak jarang kita terkejut, kaget karenanya.
Hadirin
jama’ah jum’at yang berbahagia rohimakumullah,
Lantas
bagaimana sebaiknya sebagai seorang muslim bersikap dalam menatap kenyataan ini untuk waktu-waktu
selanjutnya?
Marilah pada
kesempatan Ibadah jum’at siang hari ini kita mencoba untuk merenungkan
sejenak, untuk mengembalikan segala persoalan pd kendali
al-Islam sebagaimana Alloh ajarkan.
Seorang muslim
hendaknya selalu merasakan muroqobatullah (merasa selalu dalam pengawasan
Allah) setiap saat. Hendaklah dalam hidupnya penuh dengan keyakinan bahwa Allah
subhanahu wata’ala senantiasa melihatnya, mengetahui rahasianya, dan Dia Maha
Tahu terhadap segala perbuatannya, bahkan sampai pada hal yang
sekecil-kecilnya.
Sehingga
dengan keyakinan seperti itu, maka jiwanya merasa terliputi dalam pengawasan
Allah subhanahu wata’ala, dia akan merasa betah berdzikir kepada-Nya, akan
senang melaksanakan keta'atan kepada-Nya dan dia pun akan berpaling dari
selain-Nya.
Sifat
muraqabah merupakan dasar komitmen seorang muslim pada Islam. Sifat muraqabah
merupakan sumber kekuatan seorang muslim di saat sendirian dan di tengah
keramaian. Jika terlintas dalam pikirannya untuk melakukan maksiat, maka dia
akan segera ingat Allah subhanahu wata’ala, bahwa Dia hadir mengawasinya, lalu
dengan serta merta dia akan membuang pikiran ke arah maksiat itu
sejauh-jauhnya, agar dirinya terhindar dan terbebas dari perbuatan maksiat
tersebut dan dia berazzam untuk tidak mendekatinya lagi. Allah subhanahu
wata’ala berfirman,
هُوَ
الَّذِي خَلَقَ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَى
عَلَى الْعَرْشِ يَعْلَمُ مَا يَلِجُ فِي الْأَرْضِ وَمَا يَخْرُجُ مِنْهَا
وَمَا يَنْزِلُ مِنَ السَّمَاءِ وَمَا يَعْرُجُ فِيهَا وَهُوَ مَعَكُمْ أَيْنَ مَا
كُنْتُمْ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ
Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa; Kemudian Dia
bersemayam di atas `Arsy Dia mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi dan apa
yang keluar daripadanya dan apa yang turun dari langit dan apa yang naik
kepadanya. Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada. Dan Allah Maha
Melihat apa yang kamu kerjakan (QS. Al-Hadid:4)
Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata, "Makna ayat ini adalah,
bahwa Allah subhanahu wata’ala Maha Mengawasi dan menyaksikan semua perbuatan,
kapan saja dan di mana saja kamu melakukannya, di daratan maupun di lautan,
pada waktu malam maupun siang hari, di rumah tempat tinggalmu maupun di tempat
umum yang terbuka, segala sesuatu ada dalam ilmu-Nya, semuanya dalam
penglihatan dan pendengaran-Nya. Dia mendengar apa yang kamu ucapkan dan
melihat keberadaanmu, Dia Maha Mengetahui apa yang kamu rahasiakan dan apa yang
kamu tampakkan, Allah subhanahu wata’ala berfirman,
أَلَا إِنَّهُمْ يَثْنُونَ صُدُورَهُمْ لِيَسْتَخْفُوا
مِنْهُ أَلَا حِينَ يَسْتَغْشُونَ ثِيَابَهُمْ يَعْلَمُ مَا يُسِرُّونَ وَمَا
يُعْلِنُونَ إِنَّهُ عَلِيمٌ بِذَاتِ الصُّدُورِ
"Ingatlah,
sesungguhnya (orang munafik itu) memalingkan dada mereka untuk menyembunyikan
diri daripadanya (Muhammad). Ingatlah, diwaktu mereka menyelimuti dirinya
dengan kain, Dia (Allah) mengetahui apa yang mereka sembunyikan dan apa yang
mereka tampakkan, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala isi hati.” (QS.
Hud:5)
Dan juga firman-Nya,
سَوَاءٌ مِنْكُمْ مَنْ أَسَرَّ الْقَوْلَ وَمَنْ جَهَرَ
بِهِ وَمَنْ هُوَ مُسْتَخْفٍ بِاللَّيْلِ وَسَارِبٌ بِالنَّهَارِ
"Sama
saja (bagi Rabb kalian), siapa di antaramu yang merahasiakan ucapannya, dan
siapa yang berterus terang dengan ucapan itu, dan siapa yang bersembunyi di
malam hari dan yang berjalan (menampakkan diri) di siang hari.” (QS.
Ar-Ra'ad:10)
Sunggguh Tiada Ilah yang hak disembah selain Dia dan tiada Rabb selain
Dia. Di dalam shahih Imam Bukhari, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
menjelaskan makna "Ihsan" tatkala beliau ditanya oleh Jibril
‘alaihissalam tentang hal itu,
"Engkau menyembah Allah seakan-akan engkau melihat-Nya, maka jika
kamu tidak melihat-Nya maka yakinilah bahwa sesungguhnya Dia Maha
Melihatmu"
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah ditanya oleh seseorang,
“Wahai Rasulullah apa itu "tazkiyatun nufus?" Maka dijawab oleh
beliau, “(Tazkiyatun nufus itu ialah) hendaklah dia mengetahui (menyadari)
bahwa Allah bersamanya di mana pun dia berada". (HR. Thabrani &
Baihaqi)
Juga seorang shahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam 'Ubadah Bin
ash-Shamit radhiyallahu ‘anhu pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda, "Sesungguhnya keimanan yang paling utama adalah engkau
menyadari bahwa Allah bersamamu di mana pun kamu berada". (HR. Thabrani).
Dari Tsauban radhiyallahu ‘anhu, Rasululllah shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda,
"Sungguh aku mengetahui beberapa kaum dari ummatku yang datang pada
hari Kiamat kelak dengan membawa kebaikan-kebaikan seperti gunung Tihamah yang
putih, lalu Allah jadikan kebaikan-kebaikannya tersebut seperti debu yang
berterbangan, mereka itu adalah saudara-saudaramu, dari jenis kulitmu, dan
mereka menjadikan malamnya sebagaimana kalian menjadikannya, akan tetapi mereka
kaum yang apabila dalam keadaan sepi mereka melanggar larangan-larangan Allah.”
(HR. Ibnu Majah)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda,
"Suatu perbuatan yang tidak kamu sukai bila manusia melihat
perbuatanmu itu, maka janganlah kamu melakukannya apabila kamu berada dalam
keadaan sepi". (HR. Ibnu Hibban).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda dalam hadits yang lain,
"Ada tiga hal yang mencelakakan seseorang dan ada tiga hal yang
menyelamatkan seseorang. Tiga hal yang mencelakakan, 1. Kekikiran yang
dita'ati, 2. Hawa Nafsu yang diikuti, 3. Kekaguman terhadap diri sendiri.
Sedangkan tiga hal yang menyelamatkan, 1. Takut kepada Allah dalam keadaan sepi
maupun di tengah keramaian, 2. Seimbang/sederhana menjalani hidup ini baik dalam
keadaan fakir maupun kaya, 3. Adil dalam menghukumi baik ketika sedang marah
(benci) maupun senang (ridho)". (HR. al-Bazzar)
Imam Ahmad rahimahullah pernah menuturkan, “Jika pada suatu hari engkau
sedang sepi dalam kesendirian, maka janganlah engkau mengatakan, "Aku
sedang sendirian", tapi katakanlah, "Aku sedang diawasi oleh Dzat
Yang Maha Mengawasi". Janganlah sekali-kali engkau mengira bahwa Allah
subhanahu wata’ala itu dapat saja berbuat lengah sesaat dan janganlah pula
engkau sekali-kali mengira bahwa apa yang kamu sembunyikan itu tersembunyi pula
bagi Allah.”
Kiat
Menghidupkan Muroqobah dalam Jiwa Seorang Mukmin.
DR. Sayyid Muhammad Nuh dalam Taujih Nabawy, beliau menerangkan dua
sarana untuk menghidupkan muroqobah:
Pertama: Memiliki keyakinan yang sempurna bahwa sesungguhnya
Allah subhanahu wata’ala Maha Mengetahui segala yang dirahasiakan dan segala
yang nyata, Allah subhanahu wata’ala berfirman,
وَهُوَ اللَّهُ فِي السَّمَوَاتِ وَفِي الْأَرْضِ يَعْلَمُ
سِرَّكُمْ وَجَهْرَكُمْ وَيَعْلَمُ مَا تَكْسِبُونَ
"Dia
Allah yang disembah di langit dan di bumi, Dia Mengetahui apa yang kamu
rahasiakan dan apa yang kamu tampakkan, dan Dia Mengetahui apa yang kamu
usahakan" (QS. Al-An'am:3)
Sesungguhnya hakikat muroqobah seperti ini apabila benar-benar terhujam
di dalam hati seseorang, maka dia akan benar-benar merasa malu dilihat oleh
Allah subhanahu wata’ala jika dia melanggar larangan-Nya atau dia meninggalkan
perintah-Nya.
Al-Munawy berkata, “Takut kepada Allah subhanahu wata’ala dalam keadaan
seorang diri jauh lebih tinggi daripada takut kepada-Nya dalam keadaan
terang-terangan.
Ke dua: Memiliki keyakinan bahwa Allah subhanahu wata’ala
akan menghitung dan menghisab segala sesuatu meskipun itu hal-hal yang
terkecil. Dia akan memberitahukan hal itu kelak pada hari Kiamat, dan bahkan
Dia akan memberikan balasannya sesuai dengan jenis amal perbuatan seseorang,
amalan yang jelek akan dibalas dengan 'iqob dan azab-Nya sedangkan amal yang
baik akan mendapatkan balasan rahmat dan ridho-Nya. Allah subhanahu wata’ala
berfirman,
وَوُضِعَ الْكِتَابُ فَتَرَى الْمُجْرِمِينَ مُشْفِقِينَ
مِمَّا فِيهِ وَيَقُولُونَ يَاوَيْلَتَنَا مَالِ هَذَا الْكِتَابِ لَا يُغَادِرُ
صَغِيرَةً وَلَا كَبِيرَةً إِلَّا أَحْصَاهَا وَوَجَدُوا مَا عَمِلُوا حَاضِرًا
وَلَا يَظْلِمُ رَبُّكَ أَحَدًا
"Dan
diletakkanlah al-kitab (buku catatan amal perbuatan), lalu kamu akan melihat
orang-orang yang bersalah ketakutan terhadap apa yang (tertulis) di dalamnya,
dan mereka berkata: "Aduhai celaka kami, kitab apakah ini yang tidak
meninggalkan yang kecil dan tidak (pula) yang besar, melainkan dia catat
semuanya; dan mereka mendapati apa yang telah mereka kerjakan ada (tertulis
dihadapan mereka). Dan Rabbmu tidak menganiaya seorang jua pun". (QS.
Al-Kahfi:49).
Compiled by:
Dari Berbagai Sumber
Langganan:
Postingan (Atom)