Tenang - diam - .... - Tenteram
Gelisah - Gaduh - ..... - Galau
Sering kali situasi hidup mengikuti pola pikir
dikotomi, terbagi dalam dua kondisi yang berhadapan secara diametral tanpa
gradasi atau pemeringkatan situasi untuk setiap hal yang dihadapi. Hitam vs
Putih, Baik vs Buruk, Sedih vs Gembira, Kaya vs Miskin atau dalam ajaran Tao
ada Yin Yang dan lain sebagainya.
Pada gilirannya dalam merangkum sejarah perkembangan kehidupan manusia pun
secara ekstrem pola tersebut dijadikan model supaya mudah dalam
memetakan. Tidak dapat dipungkiri Filsafat yang sudah setua umur kehidupan
manusia itu sendiri, mengkonfigurasi perkembangan Filsafat ke dalam dikotomi
tersebut. Kadang beberapa pihak mengatakan, ada yang terlupakan bahwa ada situasi
atau kondisi abu-abu atau kebiru-biruan, agak baik atau cenderung jelek,
sejahtera atau tersubsidi justru yang sering dijumpai.
Gambar Simbol Yin Yang
Penulis bisa memahami penegasan adanya mazhab Platonik vs Aristoteles sebagai symbol penerjemahan Idealis vs Realis sampai dengan fase “Power Now” dengan fondasi Hegemoni mazhab Pragmatisme-Hedonisme-Kapitalisme, dalam mata kuliah Filsafat Ilmu, merupakan penerapan pola dikotomi di tataran Filsafat. Lantas siapakah yang berperan memberi paradigma ini?
Mencoba untuk mengetengahkan keberadaan yang
lain, adalah memandang adanya interval kontinu dari paradigma dikotomi,
barangkali sebagai upaya rasa syukur terhadap apa yang telah diterima sebagai
kebaikan. Ada konfigurasi situasi/kondisi di antara dua kondisi ekstrim. Artinya setiap orang tidak harus
mengkategorikan/mengkotak-kotak setiap keadaan hanya dalam dua kutub ekstrim (dikotomi). Namun lebih memberi
makna agar dapat dihadapkan pada pemenuhan kebutuhan pokok dalam menjalani
kehidupan yang wajar. Boleh jadi standar kewajaran dalam hidup seseorang
masih bisa diperdebatkan, namun norma yang berlaku di masyarakat sebenarnya
sudah cukup jelas untuk menghentikan perbedaan pendapat yang muncul. Akhirnya
semua kembali kepada bagaimana kita mensikapi.
Pergolakan dalam Filsafat pun mencoba menggoda
untuk memberi penjelasan melalui terjemahan-terjemahan terhadap pokok
situasi/kondisi yang ekstrem, sehingga melahirkan banyak mazhab-mazhab dalam
pengembangan model pendekatan pembangunan di sebuah negara. Hal ini dapat di
lihat pada penekanan pembangunan yang dijalankan maupun bentuk usaha ketahanan
nasional sebuah negara. Manifestasi dari kebijakan ini merambah sampai ke
masyarakat bawah dengan berbagai instrumen yang ada mencoba saling berbisik,
sehingga hampir dapat dipastikan dalam setiap lapisan masyarakat mengerucut menjadi
tujuan “terpenuhinya kebutuhan papan, sandang, pangan, pendidikan, kesehatan
sehingga dapat menjalani kehidupan tanpa rasa minder atau membanggakan diri
yang dapat diukur oleh setiap individu”. Kalau dicermati dalam situasi ini ada
kesesuaian “Ruang dan Waktu” dalam setiap entitas. Benang merah yang dapat
ditarik dari gejala situasi ekstrem adalah sikap “cukup” yang cenderung menjadi
pengadil di antara sengketa dikotomi “kekurangan vs berlimpah”. Lantas spirit
apa yang mampu menumbuhkan rasa “cukup” itu hadir dalam pribadi setiap
individu?
Menurut penulis, rujukannya jelas yaitu
menyerahkan keberadaan kondisi yang tidak jelas kepada pemilik penjelasan
seraya berdoa:
.... wajburni...... Yaa Allah.....
Cukupilah aku Yana Allah....., jika ada pada diriku kekurangan tambahkanlah
Yaa Allah..... dan jika Engkau dapati pada diriku dalam keadaan berlebihan,
kurangilah Yaa Allah....
Selalu menjadi panjatan dalam setiap kesadaran
dalam duduk “iftirash” antara dua sujud di setiap sholat kita.... Amin
Yogyakarta, 29 April 2013
Muh. Nur Choiron
Ternyata analisa bpk tentang aplikasi filsafat dalam perkembangan kehidupan manusia sbg hamba Alloh dan khalifah dibumi ini sangat bagus...........ya smua itu adalah perjalanan hidup da karunia bagi hamba hambaNYA yang mau berfikir.........
BalasHapusDapat nilai ya pak udah coment nich...........he he he