Senin, 29 April 2013

SITUASI EKSTRIM

Refleksi Kuliah Filsafat Ilmu; Rabu, 24 April 2013

Tenang - diam - .... - Tenteram
Gelisah - Gaduh - ..... - Galau


Sering kali situasi hidup mengikuti pola pikir dikotomi, terbagi dalam dua kondisi yang berhadapan secara diametral tanpa gradasi atau pemeringkatan situasi untuk setiap hal yang dihadapi. Hitam vs Putih, Baik vs Buruk, Sedih vs Gembira, Kaya vs Miskin atau dalam ajaran Tao ada Yin Yang  dan lain sebagainya. Pada gilirannya dalam merangkum sejarah perkembangan kehidupan manusia pun secara ekstrem pola tersebut dijadikan model supaya mudah dalam memetakan. Tidak dapat dipungkiri Filsafat yang sudah setua umur kehidupan manusia itu sendiri, mengkonfigurasi perkembangan Filsafat ke dalam dikotomi tersebut. Kadang beberapa pihak mengatakan, ada yang terlupakan bahwa ada situasi atau kondisi abu-abu atau kebiru-biruan, agak baik atau cenderung jelek, sejahtera atau tersubsidi justru yang sering dijumpai.
Gambar Simbol Yin Yang

Penulis bisa memahami penegasan adanya mazhab Platonik vs Aristoteles sebagai symbol penerjemahan Idealis vs Realis  sampai dengan fase “Power Now” dengan fondasi Hegemoni mazhab Pragmatisme-Hedonisme-Kapitalisme, dalam mata kuliah Filsafat Ilmu, merupakan penerapan pola dikotomi di tataran Filsafat. Lantas siapakah yang berperan memberi paradigma ini?
Mencoba untuk mengetengahkan keberadaan yang lain, adalah memandang adanya interval kontinu dari paradigma dikotomi, barangkali sebagai upaya rasa syukur terhadap apa yang telah diterima sebagai kebaikan. Ada konfigurasi situasi/kondisi di antara dua kondisi ekstrim. Artinya setiap orang tidak harus mengkategorikan/mengkotak-kotak setiap keadaan hanya dalam dua kutub ekstrim (dikotomi). Namun lebih memberi makna agar dapat dihadapkan pada pemenuhan kebutuhan pokok dalam menjalani kehidupan yang wajar. Boleh jadi standar kewajaran dalam hidup seseorang masih bisa diperdebatkan, namun norma yang berlaku di masyarakat sebenarnya sudah cukup jelas untuk menghentikan perbedaan pendapat yang muncul. Akhirnya semua kembali kepada bagaimana kita mensikapi.
Pergolakan dalam Filsafat pun mencoba menggoda untuk memberi penjelasan melalui terjemahan-terjemahan terhadap pokok situasi/kondisi yang ekstrem, sehingga melahirkan banyak mazhab-mazhab dalam pengembangan model pendekatan pembangunan di sebuah negara. Hal ini dapat di lihat pada penekanan pembangunan yang dijalankan maupun bentuk usaha ketahanan nasional sebuah negara. Manifestasi dari kebijakan ini merambah sampai ke masyarakat bawah dengan berbagai instrumen yang ada mencoba saling berbisik, sehingga hampir dapat dipastikan dalam setiap lapisan masyarakat mengerucut menjadi tujuan “terpenuhinya kebutuhan papan, sandang, pangan, pendidikan, kesehatan sehingga dapat menjalani kehidupan tanpa rasa minder atau membanggakan diri yang dapat diukur oleh setiap individu”. Kalau dicermati dalam situasi ini ada kesesuaian “Ruang dan Waktu” dalam setiap entitas. Benang merah yang dapat ditarik dari gejala situasi ekstrem adalah sikap “cukup” yang cenderung menjadi pengadil di antara sengketa dikotomi “kekurangan vs berlimpah”. Lantas spirit apa yang mampu menumbuhkan rasa “cukup” itu hadir dalam pribadi setiap individu?
Menurut penulis, rujukannya jelas yaitu menyerahkan keberadaan kondisi yang tidak jelas kepada pemilik penjelasan seraya berdoa:
.... wajburni...... Yaa Allah..... Cukupilah aku Yana Allah....., jika ada pada diriku kekurangan tambahkanlah Yaa Allah..... dan jika Engkau dapati pada diriku dalam keadaan berlebihan, kurangilah Yaa Allah....
Selalu menjadi panjatan dalam setiap kesadaran dalam duduk “iftirash” antara dua sujud di setiap sholat kita.... Amin

Yogyakarta, 29 April 2013


Muh. Nur Choiron

1 komentar:

  1. Ternyata analisa bpk tentang aplikasi filsafat dalam perkembangan kehidupan manusia sbg hamba Alloh dan khalifah dibumi ini sangat bagus...........ya smua itu adalah perjalanan hidup da karunia bagi hamba hambaNYA yang mau berfikir.........
    Dapat nilai ya pak udah coment nich...........he he he

    BalasHapus