Selasa, 30 April 2013

“Politik Pencitraan Tidak Hanya Ada di Elite Politik”


Citra = Image = Standar Politik
Beberapa muslim sering memanjatkan doa

الَلَّهُمَّ أَرِنَاالْحَقَّ حَقًّا, وَارْزُقْناَ اتِّبَاعَهُ ,وَأَرِناَ الْباَطِلَ باَطِلاً، وَارْزُقْنَا اجْتِنَابَه

“Yaa Allah, tampakkanlah kepada kami yang benar adalah benar dan karuniailah kami komitmen untuk mengikuti kebenaran itu. Tampakkanlah pula yang salah adalah salah adanya dan karuniailah kami komitmen untuk meninggalkan kesalahan itu”
Menjadi harapan setiap muslim dari doa tersebut adalah tumbuhnya kesadaran diri bahwa dalam setiap kesempatan menemui kebenaran maka Allah SWT intervensi langsung kepada kita dengan memberi isyarat/tanda bahwa kebenaran yang kita temukan adalah juga “benar” di hadapan Allah. Kemudian serta merta Allah memberi kekuatan, keberanian, kemampuan dan kesanggupan mengikuti kebenaran tersebut. Demikian pula sebaliknya ketika kita menemukan kesalahan, Allah SWT langsung menegaskan melalui cara-Nya, bahwa kesalahan yang kita temukan tersebut benar-benar “salah” di hadapan-Nya dan Allah SWT ridhlo memberi kekuatan, keberanian, kemampuan dan kesanggupan meninggalkan kesalahan tersebut.
Masalahnya sekarang adalah, sudahkah kita berusaha sungguh-sungguh (mujahadah) untuk menghadapi kebenaran yang kita jumpai itu dengan mengharap kepada Allah untuk tidak membiarkan setan turut campur dengan menyamarkan kebenaran tersebut melalui sikap kebimbangan kita dalam mengikuti kebenaran itu?
Bukankah banyak di antara kita menjadi permisif ketika ketemu kesalahan kemudian menutupi/menyamarkan kesalahan tersebut agar tidak jelas tampak salah? Berharap pula agar tidak terpublikasi atau menimbulkan gejolak? Bagi penulis cara membacanya ketika seseorang mengalami kondisi demikian, sebenarnya telah terjadi Politik Pencitraan dalam diri pribadi orang tersebut. Tetapi sangat mungkin yang bersangkutan akan menerjemahkan sebagai penyesuaian “Ruang dan Waktu”.  Kenapa demikian? Penulis mempunyai anggapan bahwa dengan respons tersebut Citra/image yang muncul terhadap pribadi orang tersebut akan terjaga dalam Citra/image baik/benar. Bukankah yang demikian sudah dapat dipastikan sebagai perlawanan terhadap sunnatullah? Atau bukankah yang bersangkutan telah membebani dadanya dengan afirmasi yang salah tampak benar? Kondisi yang demikian akan secara terus menerus memberatkannya. Atau kita hanya bermain waktu dengan mengulur/menarik sehingga proses “ketara” dalam peribahasa Jawa “becik ketitik ala ketara” sebagai penyesuaian, sejarah yang akan membuktikannya?
Semoga pribadi kita benar-benar mendapat bimbingan Allah SWT untuk menjadi hamba yang senantiasa takut kepada-Nya dan selalu ikut mau-Nya. Amin
Wallahu a’lam bishowwab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar