Citra = Image = Standar Politik
Beberapa
muslim sering memanjatkan doa
الَلَّهُمَّ
أَرِنَاالْحَقَّ حَقًّا, وَارْزُقْناَ اتِّبَاعَهُ ,وَأَرِناَ الْباَطِلَ باَطِلاً،
وَارْزُقْنَا اجْتِنَابَه
“Yaa
Allah, tampakkanlah kepada kami yang benar adalah benar dan karuniailah kami
komitmen untuk mengikuti kebenaran itu. Tampakkanlah pula yang salah adalah
salah adanya dan karuniailah kami komitmen untuk meninggalkan kesalahan itu”
Menjadi
harapan setiap muslim dari doa tersebut adalah tumbuhnya kesadaran diri bahwa
dalam setiap kesempatan menemui kebenaran maka Allah SWT intervensi langsung
kepada kita dengan memberi isyarat/tanda bahwa kebenaran yang kita temukan
adalah juga “benar” di hadapan Allah. Kemudian serta merta Allah memberi
kekuatan, keberanian, kemampuan dan kesanggupan mengikuti kebenaran tersebut.
Demikian pula sebaliknya ketika kita menemukan kesalahan, Allah SWT langsung
menegaskan melalui cara-Nya, bahwa kesalahan yang kita temukan tersebut benar-benar
“salah” di hadapan-Nya dan Allah SWT ridhlo memberi kekuatan, keberanian,
kemampuan dan kesanggupan meninggalkan kesalahan tersebut.
Masalahnya
sekarang adalah, sudahkah kita berusaha sungguh-sungguh (mujahadah) untuk menghadapi
kebenaran yang kita jumpai itu dengan mengharap kepada Allah untuk tidak
membiarkan setan turut campur dengan menyamarkan kebenaran tersebut melalui
sikap kebimbangan kita dalam mengikuti kebenaran itu?
Bukankah
banyak di antara kita menjadi permisif ketika ketemu kesalahan kemudian
menutupi/menyamarkan kesalahan tersebut agar tidak jelas tampak salah? Berharap
pula agar tidak terpublikasi atau menimbulkan gejolak? Bagi penulis cara membacanya
ketika seseorang mengalami kondisi demikian, sebenarnya telah terjadi Politik
Pencitraan dalam diri pribadi orang tersebut. Tetapi sangat mungkin yang
bersangkutan akan menerjemahkan sebagai penyesuaian “Ruang dan Waktu”. Kenapa demikian? Penulis mempunyai anggapan
bahwa dengan respons tersebut Citra/image yang muncul terhadap pribadi orang
tersebut akan terjaga dalam Citra/image baik/benar. Bukankah yang demikian sudah dapat
dipastikan sebagai perlawanan terhadap sunnatullah? Atau bukankah yang
bersangkutan telah membebani dadanya dengan afirmasi yang salah tampak benar?
Kondisi yang demikian akan secara terus menerus
memberatkannya. Atau kita hanya bermain waktu dengan mengulur/menarik
sehingga proses “ketara” dalam peribahasa Jawa “becik ketitik ala ketara” sebagai penyesuaian, sejarah yang akan membuktikannya?
Semoga
pribadi kita benar-benar mendapat bimbingan Allah SWT untuk menjadi hamba yang
senantiasa takut kepada-Nya dan selalu ikut mau-Nya. Amin
Wallahu
a’lam bishowwab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar